728x90 AdSpace

HTML5 Icon

Pengikut

Latest News
Diberdayakan oleh Blogger.
Kamis, 05 Januari 2017

ALIRAN-ALIRAN DALAM AGAMA

ALIRAN-ALIRAN DALAM AGAMA
                     (  Bag - 1  )

               Oleh : Abu Fatwa

Sebelum kepada pembahasan tentang Aliran-aliran, penting juga untuk diketahui bahwa hal seperti ini telah lebih dulu diprediksi oleh Nabi saw. dan prediksi seorang nabi itu mustahil menyalahi karena berlandaskan wahyu Allah swt. sebagaimana Firman-Nya :

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى.

“ Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Qs. An-Najm : 3-4.

Adalah sabda Nabi saw. : 

وَإِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى ».

sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan, " para sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya".."  Hr. Tirmidzi : 2853.

Dalam riwayat Abu Daud dijelasakan bahwa mereka golongan yang aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya yaitu al-Jamaah.

Dalam istilah para ulama disebut dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Intinya adalah ahlussunnah wal jama’ah itu mereka yang mengikuti jejak dan langkah Rasulullah saw, dan para sahabatnya. Merekalah yang mendapat jaminan selamat dari Allah swt.

Pada kesempatan ini penulis akan mengawali dari nama-nama aliran dalam ajaran islam yang dirangkum atau disarikan dari kitab al-Milal wa an-Nihal karya Muhammad bin Abdil Karim asy-Syahrastani  (474 – 548 H).

MU’TAZILAH
Aliran Mu’tazilah disebut Ahlul Adli wa Tauhid dan juga disebut dengan Qadariyyah atau Adliyyah. Mereka menjadikan kata Qadariyyah mengandung dua arti. Kata Qadar dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar dipergunakan untuk kebaikan dan keburukan pada hakikatnya dari Allah. Namun sebenarnya pendapat ini hanya lahir dari orang yang buta hatinya sebab dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa :

الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الأُمَّةِ

Qadariyyah adalah Majusinya Umat Islam. Hr. Abu Daud : 4693

Dan yang menjadi lawannya yaitu Shifatiyyah. Sedang kata Jabariyyah dan Qadariyyah bertolak belakang. bagaimana dua kata ini dapat dihimpun. Sebagaimana kata al-Auja’iy :
القدرية خصماء الله عز وجل في الأرض.
Qadariyyah adalah musuh Allah Azza Wa Jalla di dunia.

Yang dimaksud dengan Musuh Allah di sini adalah musuh mengenai takdir Allah, karena takdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan demikian juga perbuatan manusia terdiri dari dua macam ialah baik dan buruk. Yang demikian itu tidaklah tergambar bagi orang yang bertawakal dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, yang rela menerima ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, karenanya orang Mu’tazilah tidak menerima yang seperti ini, karena semua macam perbuatan yang terjadi adalah dari manusia.

Kaum Mu’tazilah mengaakan bahwa Allah itu Qadim, qidam adalah sifat khusus bagi zat-Nya. mereka mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan zat-Nya, Allah maha hidup dengan zat-Nya, Allah maha kuasa dengan zat-Nya, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, dan kehidupan, karena semua ini adalah sifat sedangkan sifat adalah suatu di luar zat. Karena kalau sifat berada pada zat yang qadim, sedang sifat qidam adalah sifat yang lebih khusus niscaya akan terjadi dualism yakni zat dan sifat. Kaum Mu’tazilah sependapat bahwa kalam Allah itu baharu yang ada pada zat-Nya karena kalam itu sendiri terdiri dari huruf, suara, dan tulisan mushaf dan dapat ditiru bunyinya. Karena itu kalau sifat kalam sedemikian rupa ialah sesuatu yang baharu yang ada pada zat maka kalam yang seperti itu dapat hilang. Mereka juga sependapat bahwa  iradah, sam’a dan bashar bukanlah termasuk sifat ma’ani yang ada pada zat-Nya, namun mereka tidak sependapat tentang sisi adanya dan tempat berada sifat yang seperti itu yang insya Allah akan kami kemukakan pada uraian yang akan datang. Mereka juga menolak  kemungkinan melihat zat Allah dengan mata kepala pada hari akhirat karena, menurutnya, apabila zat Allah dapay dilihat berarti zat-Nya sama dengan zat yang lain padahal zat Allah tidak berada pada arah tertentu, tidak mempunyai tempat, tidak berbentuk, tidak mempunyai rupa, tidak terdiri dari materi, tidak menempati ruang, tidak berpindah-pindah , tidak dapat dibilang, tidak berubah, dan tidak terpengaruh. Karena menurut mereka ayat-ayat yang mutasyabihat itu wajib ditakwilkan, pendirian yang seperti itu mereka namakan Tauhid.

Mereka juga berpendapat Allah tidak menciptakan terkecuali sesuatu yang baik. Allah berkewajiban memelihara kepentingan hamba-Nya. adapun yang lebih baik  apakah wajib Allah menciptakannya. Dalam hal ini mereka berbeda pendapat karena itulah mereka dinamakan keadilan.
Mereka sependapat apabila seorang mukmin meninggal dalam keadaan berbuat taat dan bertobat ia memperoleh ganjaran pahala karena yang dimaksud dengan hari akhirat ialah hari menerima ganjaran. Dan apabila seorang yang meninggal tidak bertobat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya ia akan kekal di dalam neraka. Namun siksaannya lebih ringan dari siksaan orang yang kafir. Masalah ini mereka sebut wa’ad dan wa’id.

Mereka juga sependapat yang termasuk masalah ushul (akidah) ialah ma’rifah (pengenalan), syukur terhadap nikmat, hukumnya wajib sebelum diturunkan wahyu. Karena kebaikan dan keburukan itu dapat dikenal dengan menjauhi yang buruk. Adanya beban tanggung jawab (taklif) merupakan cobaan dan ujian terhadap manusia yang diturunkan kepada para rasul. Allah berfirman :

لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَسَمِيعٌ عَلِيمٌ

yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula)[619]. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, : Qs. Al-Anfal : 42

mereka berbeda pendapat tentang masalah imamah (kepemimpinan). Sebagiannya berpendapat melaluia nash (sudah ditetapkan berdasarkan wahyu Allah), sebagian lagi berpendapat melalui pemilihan. Masalah ini akan kami kemukakan dalam uraian mengenai pendapat setiap sekte. Dan dalam uraian berikut ini akan penulis kemukakan pendapat setiap sekte dan yang menjadi ciri khasnya.

Al-Washiliyyah

Pendiri al-Washiliyyah adalah Abu Huzaifah Washil bin Atha al-Gazzal al-Alstag (80-131 H), salah seorang murid Hasan Bashri. Washil belajar ilmu fisika dan hadits kepada Hasan Bashri. Dia hidup pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik. Para pengikutnya terdapat di Afrika Utara pada masa kerajaan Idris bin Abdullah al-Husaini yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur.

Ajaran Washiliyyah ini terdiri dari empat pokok :

1. Menolak adanya sifat-sifat Allah seperti ilmu, Qudrat, Iradat dan Hayat. Pendapat dalam masalah ini pada mulanya belum begitu jelas maka Washil bin Atha dianggap orang yang memperjelasnya. Menurutnya mustahil ada dua tuhan yang qadim dan azali. Katanya : siapa yang mengakui adanya sifat qadim pada zat Allah maka ia mengakuinya adanya dua tuhan. Pendapat ini dicetuskannya setelah ia mempelajari buku-buku filsafat dan dalam studinya terhadap pendapat-pendapat para filosof  ia berkesimpulan bahwa sifat itu tidak ada pada Allah seperti keadaan Allah yang maha mengetahui. Maha kuasa dan kemudian katanya kedua sifat yang disebut di atas sebenarnya adalah zat-Nya, keduanya adalah istilah (I’tibariyyah) bagi zat yang qadim seperti apa dikatakan Juba’i atau keduanya hal (keadaan) seperti yang dikatakan Abu Hasyim.

Kecendrungan Abu Hasan Bashri mengembalikan kedua sifat di atas ke dalam satu sifat yang dinamakan sifat ‘aliyah yang seperti   ini persis seperti pendapat para filosof yang akan penulis kemukakan .

Sedang para ulama salaf berbeda pendapat dengan Washiliyyah ini, karena mereka temukan sifat-sifat itu tercantum di dalam al-Quran dan Sunnah.

2. Tentang taqdir. Mereka sependapat dengan Ma’bad al-Juhari (80) dan Gilan al-Damisqi. Pendapat Washil dalam masalah ini melebihi pendapatnya tentang sifat . katanya : Allah adalah hakim yang adil, karenanya tidak mungkin dapat disandarkan kepada-Nya keburukan dan kezaliman, tidak mungkin Allah mengehendaki dari manusia sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diperintah-Nya. Mustahil Allah menyiksa manusia terhadap perbuatan yang bukan dari manusia sendiri. Karena manusia itulah yang melakukan perbuatan sendiri , perbuatan baik maupun buruk, perbuatan maksiat dan kekafiran, ketaatan dan kemaksiatan. Manusia akan menerima akibat dari berlaku zalim. Perbuatan manusia terbatas pada gerak dan diam, pada keinginan, pikiran dan pengetahuan. Katanya : Mustahil kalau terjadi Allah memerintahkan manusia melakukan sesuatu kemudian Allah memerintahkan manusia melakukan perbuatannya. Siapa yang menolak pendapat ini sama artinya ia telah menolak sesuatu yang oleh akal mudah diterima, Washil banyak mengemukakan dalil pendapatnya ini dengan mengemukakan ayat-ayat Quran.

Penulis pernah membaca sebuah surat yang dikatakan berasal dari Hasan Bashri yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan Abdul Malik bin Marwan yang menanyakan tentang Qadar dan Jabar. Hasan menjawab sama seperti pendirian mazhab Qadariyyah yang diperkuat dengan dalil ayat-ayat al-Quran dan dalil akal. Namun menurut hemat penulis surat itu bukan dari Hasan Bashri, tetapi dari Washil bin Atha. Penulis beranggapan demikian karena pendapat Hasan Bashri tidak akan menyalahi pendapat ulama salaf  yang mengakui tentang Qadha pada hakikatnya dari Allah. Keyakinan yang seperti ini seolah-olah menjadi ijmak ulama salaf. Kaum Mu’tazilah mengemukakan alasan :alangkah anehnya kalau kata yang mengandung pengertian tersebut di atas mengandung arti ganda; bencana dan kebaikan, kemelaratan dan kemakmuran, sakit dan kesembuhan, hidup dan mati semuanya perbuatan Allah, bukankah kebaikan dan keburukan dari perbuatan manusia.

3. Ia berpendapat tentang manzilatain ( berada antara dua tempat). Pada suatu hari Washil bin Atha datang menemui Hasan Bashri dan berkata : wahai pemuka agama telah lahir di zaman kita ini sekelompok manusia yang mengkafirkan setiap orang yang melakukan dosa besar. Dosa besar menurutnya yang menyebabkan kekafiran dan kelompok ini  adalah kelompok Khawarij. Ada lagi sekelompok manusia yang menyerahkan urusannya kepada Allah tentang orang yang berbuat dosa besar. Menurut merek dosa besar tidak mempengruhi iman, karena perbuatan menurut mereka bukan termasuk rukun Iman. Iman tidak akan rusak karena berbuat dosa besar demikian juga ketaatan tidak dipengaruhi oleh kekafiran. Kelompok ini dinamaakan “ Murji’ah”. Karena itu bagaimana pendapatmu tentang pendirian dari dua kelompok itu ? Hasan Bashri berfikir sejenak sebelum memberikan jawaban pertanyaan itu. Namun Washil bin Atha lebih dahulu menjawab pertanyaanya sendiri, katanya : ku katakana kepada orang yang melakukan dosa besar masih dianggap beriman dan juga bukan kafir. Setelah mengucapkan ucapan itu ia keluar dari mesjid dan memisah diri dari kelompok Hasan Bashri. Dan ia mempertahankan pendiriannya di hadapan murid-murid Hasan Bashri. Hasan Bashri berkata : telah memisahkan diri (I’tizal) Washil dari kelompok kita. Karena itu Washil dan rekan-rekannya yang sama pendiriannya dinamkan “ Mu’tazilah” yakni orang yang memisah diri. 
Washil bin Atha mengemukakan alasan bahwa iman itu terdiri dari unsur-unsur kebaikan. Apabila semuanya lengkap dinamakan orang beriman yang terpuji. Sebaliknya orang munafik adalah unsur imannya kurang, ia tidak dapat dikatakan orang yang terpuji dan beriman dan juga tidak dapat dikatakan orang yang celaka yang kafir. Karena itu persaksiannya dan sebagian perbuatan baiknya masih ada pada dirinya dan ini tidak dapat dipungkiri. Namun apabila ia meninggal sedang ia telah melakukan dosa besar dan tifak bertobat, maka ia termasuk penghuni neraka yang kekal. Karena di hari akhirat itu hanya ada dua kelompok; penghuni neraka dan penghuni surga, namun siksa yang dikenakan kepadanya lebih ringan dari siksa yang diderita orang yang kafir.

Orang yang menjadi pengikut Washil ini di antaranya Amrun bin Ubaid (80-144) yang menerima pendapatnya tentang qadar dan menolak adanya sifat bagi Allah swt.

4. Tentang orang yang terlibat dalam peperangan jamal dan siffin. Menurutnya salah satu kelompok memang bersalah demikian juga orang yang membunuh dan menghina Utsman bin Affan. Katanya ; salah satu kelompok jelas berbuat fasik demikian juga berlaku bagi orang yang saling mengutuj (li'an), namun tidak diketahui dengan persis kelompok yang mana. Karena itu minimal hukuman yang dikenakan kepada kedua kelompok, bahwa persaksiannya tidak diterima seperti tidak diterima persaksian dua orang yang saling mengutuk. Karena itu menurutnya tidak diterima persaksian Ali bin Abi Thalib, Jubair dan Thalhah dan mungkin juga yang bersalah Utsman bin Affan. Demikian pendapay Washil bin Atha sebagai pemimpin Mu'tazilah dan pendiriannya terhadap para sahabat dan keluarga Rasululloh saw.

Di atas telah dikemukakan orang yang menerim pendapat Washil bin Atha adalah Amrun bin Ubaid. Ia mempertahankan dan memperjelas salah satu kelompok yang di anggapnya bersalah tanpa harus menyebut kelompoknya. Katanya kalau dua orang dari salah satu kelompok naik saksi umpamanya Ali dan salah seorang tentaranya atau Zubair dan Thalhah maka persaksian mereka tidak dapat diterima. Pendapat yang seperti ini yang lebih mempertegas bahwa satu kelompok masuk meraka. Amrun bin Ubaid menurut para pengikutnya termasuk perawi hadits, orang uang dikennal zuhud sedang Washil bin Ayha dikenal dengan perilakunya yang terpuji........

.bersambung bag -2.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: ALIRAN-ALIRAN DALAM AGAMA Rating: 5 Reviewed By: samsudin